Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dikenal sebagai salah satu kontributor utama emisi karbon di sektor energi. Seiring dengan meningkatnya tuntutan global untuk mencapai Net Zero Emission (NZE), pemerintah dan industri energi di Indonesia mulai mempertimbangkan penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS) pada PLTU. Namun, tidak semua PLTU cocok untuk menggunakan teknologi ini. Lalu, PLTU mana yang paling ideal untuk mengadopsi teknologi CCS? Artikel ini akan mengulas mengenai PLTU dengan Teknologi CCS dan kriteria PLTU yang sesuai untuk implementasi teknologi tersebut.

Apa Itu Teknologi CCS pada PLTU?

Teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) adalah proses penangkapan emisi karbon yang dihasilkan oleh PLTU dan menyimpannya di bawah tanah secara permanen. Dengan teknologi ini, emisi karbon yang seharusnya terlepas ke atmosfer dapat dikurangi secara signifikan, sehingga membantu menekan angka polusi udara dan mendukung target pengurangan emisi nasional.

Baca juga: Manfaat PLTU Jawa 9-10, Mendukung Pertumbuhan Kebutuhan Listrik di Tengah Peningkatan Konsumsi Energi

PLTU yang Cocok untuk Teknologi CCS

Tidak semua PLTU cocok untuk mengaplikasikan teknologi CCS. Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute Essential for Services Reform (IESR), hanya PLTU yang memiliki teknologi terbaru, seperti Ultra Super Critical Selective Catalytic Reduction (USC SCR), yang dinilai layak untuk mengadopsi teknologi CCS. Salah satu contoh PLTU yang memenuhi kriteria ini adalah PLTU Jawa 9 & 10.

  1. PLTU Jawa 9 & 10 PLTU ini telah menggunakan teknologi USC SCR yang memiliki efisiensi lebih tinggi dan kemampuan untuk mengurangi emisi nitrogen oksida serta dioksida. Dengan integrasi teknologi CCS, PLTU ini dapat menangkap emisi karbon dengan lebih efektif, sehingga mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
  2. Teknologi Hybrid pada PLTU Jawa 9 & 10 Selain dilengkapi dengan teknologi USC SCR, PLTU Jawa 9 & 10 juga berpotensi menjadi PLTU hibrida pertama di Indonesia yang memanfaatkan bahan bakar amonia dan hidrogen hijau dalam proses produksinya. Ini berarti PLTU tersebut dapat menggabungkan penggunaan bahan bakar fosil dengan energi terbarukan, membuatnya semakin siap untuk beradaptasi dengan teknologi CCS dan mendukung target pengurangan emisi jangka panjang.

Pertimbangan Ekonomi dan Efektivitas

Meskipun teknologi CCS menawarkan solusi dalam pengurangan emisi karbon, penerapannya di Indonesia tidak bisa dilakukan secara merata di semua PLTU. Hal ini dikarenakan teknologi CCS memerlukan investasi yang sangat besar, terutama pada PLTU yang sudah tua dan memiliki efisiensi rendah. Menurut Fabby Tumiwa, jika teknologi CCS diterapkan pada PLTU yang tidak efisien, biaya produksi listrik (BPP) akan meningkat drastis, sehingga membebani keekonomian PLTU tersebut.

Sebagai alternatif, pemerintah harus selektif memilih PLTU yang sesuai untuk diadaptasikan dengan CCS. PLTU yang sudah memiliki teknologi pengurangan emisi seperti SCR, supercritical, atau ultra-supercritical lebih layak dipertimbangkan dibandingkan dengan PLTU yang masih menggunakan teknologi lama.

Baca juga: Cara Efektif Mencegah Kebakaran di Rumah

Dukungan Pemerintah untuk Penerapan CCS di PLTU

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen untuk mengembangkan teknologi CCS sebagai bagian dari transisi energi menuju NZE. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa PLTU tetap dapat beroperasi jika dilengkapi dengan teknologi CCS. Hal ini bertujuan agar PLTU tetap dapat menyuplai kebutuhan listrik yang terjangkau, sembari menekan dampak negatif terhadap lingkungan.

Pemerintah juga telah melakukan uji coba implementasi CCS di beberapa PLTU yang dianggap layak. Potensi penyimpanan karbon di Indonesia diperkirakan mencapai 400 hingga 600 gigaton, yang berarti seluruh emisi domestik dapat disimpan menggunakan teknologi CCS ini selama ratusan tahun.

Tantangan dan Kendala Penerapan CCS di PLTU

Meskipun potensi CCS di Indonesia sangat besar, penerapannya masih menemui sejumlah kendala. Salah satunya adalah kebutuhan biaya investasi yang sangat besar. Berdasarkan kajian dari IESR, biaya yang dibutuhkan untuk mempensiunkan dini PLTU dan mengimplementasikan teknologi CCS mencapai US$ 4,6 miliar hingga 2030 dan US$ 27,5 miliar hingga 2050. Biaya yang sangat tinggi ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan pelaku industri energi untuk menerapkan teknologi CCS secara luas.

PLTU dengan Teknologi CCS adalah solusi strategis untuk mengurangi emisi karbon di sektor energi Indonesia. Namun, penerapan teknologi ini harus dilakukan secara selektif pada PLTU yang sudah dilengkapi dengan teknologi pengurangan emisi modern, seperti PLTU Jawa 9 & 10. Dengan dukungan kebijakan dan investasi yang tepat, teknologi CCS dapat membantu Indonesia mencapai target Net Zero Emission dan mendukung transisi energi bersih yang berkelanjutan.

Pemerintah dan industri perlu bekerja sama dalam mengidentifikasi PLTU yang layak untuk diadaptasi dengan CCS, memperhitungkan nilai keekonomian, serta mencari sumber pendanaan yang dapat mendukung implementasi teknologi ini tanpa menambah beban biaya produksi listrik yang signifikan.